Sabtu, 19 Maret 2011

Manusia dan Keindahan

KEINDAHAN

pengertian
keindahan, mengarah kepada dayatarik, menarik yang mencirikan sangat bagus,baik,elok, nikmat untuk dipandang dan dirasa, yang memeberi persepsi tentang kenikmatan / keseangan.
yang identik dengan kebenaran dak terikat oleh selera, mode, waktu dan lainnya.
Umumnya dihubungkan dea suatu wujud karya untuk mendapat definisi dari keindahan itu sendiri. (Symetria estetika untuk hal berdasarkan penglihatan, Harmonia untuk hal berdasarkan pedengaran). yang dihubungkan menjadi suatu jenis nilai yang dikenal nilai estetik yang
dipandang dalam segi intrinsik(sifat baik dari dlm hal/benda itu) dan segi entrinsik (luarnya, atau nilai lain sebagai prasaranannya).


keindahan secara tidak langsug dan bahkan memang sudah menjadi kebutuhan bagi manusia. yakni kebutuhan akan rohani (penyegaran refreshing akan sesuatu yang benilai estetika)
oleh karenannya dalam diri manusia tergerak untuk menciptakan sesuatu yang indah yang dikenal dengan kontemplasi melalui negatif capability
(kemampuan untuk selalu dalam keraguan, misterius dan tidak menentu diliputi keresahan tanpa mengganggu keseimbangan jiwa) yakni proses yang mendidik seseorang menjadi kreatif
tidak hanya cukup untuk mencipta, manusia perlu menyalurkanna, menyatakannya, menikmati, dan merasakannya (Ekstansi) dengan inilah tercipta penilaian dan keindahan itu tersendiri.

dapat dicontohkan dalam pembuatan sebuah karya berwujud sebuah Musik, seseorang yang sering mendengar musik - musik indah menggerakan hatinya untuk kontemplasi, yakni menciptakan sebuah musik yang indah pula yang pada umumnya agar dapat memenuhi ekstansi nya bahkan memperbaiki kemerosotan zaman yang menyebabkan tata nilai usang, serta bebagai nilai moral yang sudah terabaikan.

contoh yang paling sempurna mengeai keindahan adalah Cahaya yag berasal dari Tuhan


STUDI KASUS



Keindahan yang terancam

Panorama di pantai itu laksana bayangan surga penuh pesona. Sebuah tanjung menjorok ke laut lepas. Air lautnya biru-kehijauan. Laut itu dibingkai oleh sebaran bebatuan granit hitam-kecoklatan yang tersusun menawan.

Di sela-sela batu, sebagian sangat besar, ada hamparan pasir putih bersih. Semua itu makin lengkap dengan adanya pepohonan yang hijau segar. Berdiri di situ, menghirup keindahan pantai, kita seperti hanyut dalam hening alam nan tenteram.

Pantai itu bernama Tanjung Penyusuk. Berlokasi di ujung Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, pantai ini terasa lebih segar karena masih ”perawan”, belum dikuasai bangunan hotel atau resor yang mulai tumbuh di Bangka.

Satu-satunya bangunan menonjol adalah semacam pendopo semipermanen berukuran sekitar 3 meter x 3 meter sebagai tempat beristirahat pengunjung. Ada juga kamar mandi dengan sumur timba.

”Orang datang ke sini untuk mencari pantai yang masih alami,” kata Asnawi (50), penduduk di Tanjung Penyusuk, pertengahan Februari lalu.

Ombak sedikit lebih besar dibandingkan dengan deretan pantai lain di sekitar pantai itu karena kawasan ini berhadapan langsung dengan Laut China Selatan. Meski begitu, pantai ini cukup aman untuk bermain karena dasar pantainya landai. Dari pantai, ombak itu terasa sebagai angin semilir yang sejuk.

Ketika melihat peta, rasanya Tanjung Penyusuk begitu jauh karena berada di bagian paling ujung dari daerah Kabupaten Bangka. Namun dengan mobil, pantai bisa dicapai selama dua jam perjalanan dari Pangkal Pinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Para wisatawan umumnya datang dengan menyewa mobil seharga sekitar Rp 300.000 per hari. Itu cara terbaik menjelajahi Bangka karena jumlah angkutan umum di pulau itu terbatas. Mencari taksi juga sulit. Kalaupun ada, sopirnya pasang tarif borongan tanpa argo.

Dalam perjalanan kami melewati hamparan kebun liar, rawa-rawa, rumah kayu, juga rumah-rumah tembok sederhana. Tampak pula beberapa lahan yang bolong-bolong akibat digali para penambang timah inkonvensional, biasa disebut TI.

Sebelum sampai di Tanjung Penyusuk, ada desa terakhir, yaitu Plaben, yang dihuni masyarakat keturunan China. Dari situ, jalanan langsung menurun sehingga terpampang hamparan laut mahaluas di depan mata.

Pantai Romodong

Sekitar enam kilometer dari Tanjung Penyusuk, ada Pantai Romodong. Kejutan terasa saat mendekati jalan masuk ke pantai. Ada dua batu besar hitam di sisi kiri-kanan yang mengapit kami, mirip sebuah pintu gerbang.

Pantai ini juga masih alami. Deretan pohon cemara menghiasi bibir pantai yang berbatasan dengan jalan tanah. Tidak ada satu pun sampah plastik atau kertas yang ditinggalkan wisatawan karena pantai itu memang masih jarang dikunjungi orang. Kalaupun ada sampah di pantai itu, hanyalah sampah dari daun-daun yang berguguran atau buah kelapa yang jatuh dari pohon.

Keunikan Pantai Romodong terjadi ketika air laut surut, di mana jauh dari garis pantai, dasar laut begitu dangkal. Di situ pengunjung bisa berjalan kaki dari bibir pantai hingga ke beberapa pulau kecil di depan Romodong, seperti Pulau Putri, Mentigi, Pulau Baku, dan Pulau Lampu yang ada mercusuarnya. Pulau-pulau inilah yang menahan ombak agar tidak langsung menghantam pantai.

Pantai Tanjung Penyusuk dan Pantai Romodong hanya sebagian dari pesona pantai di Bangka. Masih banyak pantai lain yang menawarkan keindahan. Sebut saja, Pantai Parai Tengiri, Pantai Tanjung Pesona, Pantai Matras, Pantai Kelayang, Teluk Uber, dan Pantai Tikus.

Setelah film Laskar Pelangi sukses, pantai-pantai di Pulau Belitung—yang berdekatan dengan Pulau Bangka—memang mengalami booming pariwisata. Namun, sebenarnya, Pulau Bangka juga menyimpan ”mutiara terpendam”.

Ancaman

Sayangnya, dua pantai itu, juga sebagian pantai lain di Pulau Bangka, kini semakin terancam oleh penambangan timah. Penambangan rakyat di daerah itu tumbuh sejak rakyat dibebaskan menambang pada awal tahun 1990-an dan makin mengganas setelah reformasi tahun 1998. Kini, ketika kandungan biji timah di darat terus berkurang, para penambang merangsek ke pantai dan laut.

Dengan mesin rakitan dan alat berat, mereka menyedot lumpur dan tanah di pantai dan sekitarnya. Sebagian penambang membuat semacam tambang terapung yang bisa menyusuri pantai hingga tengah laut demi mengeruk kandungan timah di balik lumpur, batu karang, dan pasir laut.

Penambangan di pantai dan laut ini semakin menjadi-jadi karena memang tak ada kepedulian terhadap lingkungan, bahkan keindahan alam yang begitu kasatmata itu. Sebagian pantai indah yang menjadi andalan wisata di Bangka juga digasak. Akibatnya, pantai itu rusak berat dan sulit direklamasi, dipulihkan keindahannya sebagaimana sediakala.

Kerusakan ini sudah menggerogoti Pantai Rebo, Pantai Batu Ampar, dan Pantai Tikus, ketiganya berada di Sungai Liat, ibu kota Kabupaten Bangka. Pantai Rebo, misalnya, dikepung tambang terapung yang hilir mudik di kawasan itu saat kunjungan kami pertengahan Februari lalu. Mesin tambang menyuarakan bunyi menderu-deru.

Pantai itu sendiri sudah berantakan. Pesisirnya yang dahulu landai dan indah kini awut-awutan, penuh lubang menganga. Pasir yang dulu putih bersih sekarang menjadi coklat kehitaman karena bercampur lumpur limbah penambangan timah.

Air laut yang semula berwarna biru-kehijauan juga telah berubah menjadi kotor-kecoklatan serta berbau tidak sedap. Beberapa anjungan yang dibangun untuk fasilitas wisata tak terurus. Tak tampak wisatawan yang datang. Suasana sepi. "Padahal, pantai ini dulu indah sekali. Setiap liburan dan akhir pekan, banyak orang berkunjung," kata Tet Fu (58), warga Kampung Rebo.

Masalah lain, sebagian pantai telah dikuasai investor yang membangun hotel dan resor serta mengokupasi pantai itu hanya untuk para tamunya. Suasana itu tampak di Pantai Parai dan Tanjung Pesona. Untuk menikmati pantai indah itu, pengunjung mesti masuk ke kawasan resor dan melalui pos penjagaan dengan pintu berpalang. Pantai yang seharusnya menjadi areal publik itu akhirnya dibatasi dan seperti disuguhkan hanya kepada tamu-tamu yang menginap di hotel mewah itu.

”Dulu Tanjung Parai banyak dikunjungi keluarga. Saya waktu kecil dan remaja sering bermain ke Tanjung Parai, tetapi setelah dibangun hotel hanya tamu-tamu yang boleh masuk,” kata Yusril (34), warga asal Pangkal Pinang. Sebentar lagi, mungkin hanya wisatawan berkantong tebal yang bisa menyaksikan keindahan pantai-pantai di Bangka. (Ilham Khoiri & Lusiana Indriasari)

Kompas.com Selasa, 23 Maret 2010 | 16:04 WIB

KOMPAS.com


Opini


Menurut saya perlunya ada tindak tegas dari pemerintah pusat untuk menangani masalah ini tidak haya sebelah mata, serta terlihat betapa indahnya sudah terekam dalam benak kita akan gambaran alam pantai diatas, namun oleh ketamakan manusia
semua keindahan diatas menjadi tergerser. berbagai perubahan buruk pun terjadi diantaranya :
- Air laut yang semula berwarna biru-kehijauan juga telah berubah menjadi kotor-kecoklatan serta berbau tidak sedap.
- Pasir yang dulu putih bersih sekarang menjadi coklat kehitaman karena bercampur lumpur limbah penambangan timah.
- Sebagaian telah terkuassai guna membangun hotel dan resor serta mengokupasi pantai itu hanya untuk para tamunya. Suasana itu tampak di Pantai Parai dan Tanjung Pesona.

Sangat jelas nampak manusia belum bisa menghargai akan keindahan atau demi kepetingan individualitasnya, sungguh keadaan yag ironi dan teryata bukan hanya tindak tegas saja yang diberlakukan namun adanya suatu kerja sama atara masyarakat dan pemerintah bagaimana merawat alam ini, percuma saja diberlakukan tindak tegas atau pidana apabla tidak ada kesadaran dari tiap masyarakat.

Permasalahannya sekarang adalah bagaimana menumbuhkembangkan kesadaran di masing masing individu akan pentingnya dan peransertanya dalam merawat panorama keindahan yang dari Tuhan Yang Maha Esa. maka kerja sama pembinaan alam pun dengan mudah dapat terlaksana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar