Semua orang tentunya pernah mengalami / berada pada sesuatu yang tidak menyenangkan, tidak baik bahkan merusak dan menimbulkan efek bagi kelangsungan hidup
yang membuat kita menjadi merasakan yang tidak enak, tersiksa, tak berdaya, entah secara jasmani atau rohani. Itulah penderitaan, keadaan yang mengkondisikan kita untuk merasakan sakit. ini nyata dan jelas terlihat karena semua orang tentunya telah mengaalaminya.
sekarang tergantug kita bagaimana menyikapi penderitaan itu, apakah kita akan terus dijajah oleh rasa derita iitu, atau justru kita bisa keluar dari penderitaan. Dapat keluar / tidaknya seseorang dari penderitaannya ditentukan oleh diri orang tersebut, orang sekitar dan lainnya hanyalah prasarana saja.
Namun ada satu pelajaran baik dari penderitaan apabila kita menyikapi penderitaan itu secara postitif "Penderitaan memacu seseorang untuk berjuang hingga sukses dan dapat keluar dari deritanya." meskipun penderitaan tidak selamanya hilang, hidup adalah untuk berjuang kita bisa menyelesesaikan setiap kali pederitaan menimpa kita dengan perjuangan.
setelah perjuangan dlakukan serahkan pasrahkan semua terhadap Tuhan.
Semua kepasrahan atas perjuangan yang telah dilakukan tertulis jelas dalam firman Tuhan
"Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.
Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan.
Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan?
Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya."
Matius 7:7-11
Seperti opini saya mengeai penderitaan diatas yakni keadaan yag membuat kita menjadi tidak enak, tersiksa dan tidak menyenangkan menjelaskan bahwa rasa tersiksa bagian dari penderitaan. saya mengambil kesimpulan bahwa awal dari penderitaan disebabkan oleh suatu siksaan, oleh karena seseorang tersiksa ia telah mengalami derita.
Dalam tulisan ini siksaan yang digambarkan lebih mengarah pada bentuk psikis. dalam berbagai kasus contohnya :
Kebimbangan (keraguan seseorang akan berbagai pilihan yang dihadapkan kepadanya), Kesepian (rasa sepi, sendiri, sunyi dalam lubuk hati seseorang dengan suatu alasan tertentu),
dan yang paling sering terjadi adalah ketakutan (takut akan gagal, takut akan ketinggian dengan alasan tertentu, sugesti akan rasa sakit yag berlebihan yang menimbulkan ketakutan.) dan banyak lagi yang pada umumnya bersebab oleh karena tekanan, trauma, problema psikologis dan pada akhirnya menimbulkan kekaluan mental (penderitaan batin) atau bahkan gangguan kejiwaan.
Secara tidak langsung seseorang yang mengalami kekalutan mental tergambar ketakutan, apatis, cemburu berlebihan, mudah marah, agresif, emosional, pertahanan diri yang salah
(orang yang tidak menderia gangguan kejiwaan bila menghadapi masalah tentu lekas mencari akar masalahnya sehingga langsung memecahkan problemnya sehingga tidak menekan perasaaannya bukan jusru lari dari masalah yang tetunya akan semakin menimbun perasaan tertekan). Kepribadian yang lemah (mental tempe yang selalu minder), konflik sosial budaya (tidak dapat mengkondisikan dengan keadaan realita), berlebihan dalam menghadapi masalah.
Cukup berbahaya bila kekalutan mental dibiarkan, penderitaan memang silih berganti datang, namun bukan berarti kita harus terus menderita selama hidup, tetapi kebalikannya, yakni bagaimana kita menyikapi penderitaan itu sendiri. sekali lagi Hidup adalah perjuangan penderitaan bisa menimbulkan dampak positif dengan contoh kita lebih bisa siaga, terbiasa menghadapi penderitaan itu sendiri, dan bisa lebih mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa sehingga jalan keluar pun dengan mudah didapat.
Justru yang mengerikan adalah dampak negatif dari kekalutan mental yakni mendorong seseorang untuk trauma mendalam, frustasi.
berbagai contoh kasusnya agresi atau kemarahan tak terbendung, memicu untuk melakukan tindakan sadis pelampiasan emosi terhadap diri sendiri seperti membenturkan kepala
ke tembok, terdiam terbisu menyakiti diri (fiksasi), masih mending terhadap diri sendiri bagaiaa kalau dilampiaskan ke orang lain, angan - angan imaginasi menyamakan diri dengan idolanya (identifikasi), cinta akan diri sendiri yang berlebihan (narsisme), bahka parahnya menutup diri dari dunia nyata karena ingin bahkan sudah memiliki dunianya sendiri (autisme).
Kekalutan mental pada umumnya terjadi pada mereka yang tidak beragama dan tidak memiliki keperayaan pada Tuhannya, terlalu mengandalkan diri tanpa mengandalkan Tuhan
sehingga ketika tidak berhasil dalam mencapai apa yag dikehendaki, tidak mampu meenuhi kebutuhan hidupnya(selalu merasa dikejar), ketidakmampuan dalam mengungkapkan masalah
(hanya dibawa dan disimpan dalam hati perasaan deritanya), terlalu mengejar materi / harta duniawi sehingga menuntut mereka mengalami kekalutan mental.
STUDI KASUS
Nyepi, Peneguhan Menuju Perdamaian
Oleh RAKA SANTERI
Pada tahun 77 Masehi, Maharaja Kaniska I di India tercenung. Penguasa dari dinasti Kusana ini berpikir: setelah musuh-musuh dapat ditaklukkan dan kekuasaan dapat direbut, apakah arti kemasyhuran dalam hidup bila selalu diwarnai dendam dan diancam oleh pemberontakan? Adakah yang lebih indah dalam hidup ini selain kedamaian, seperti yang telah ditunjukkan oleh musuh-musuhnya dari suku bangsa Saka?
Raja Kaniska pun semakin yakin bahwa tidak ada kebahagiaan tanpa kedamaian. Dan, kedamaian baru bisa tercipta bila tidak ada lagi kekerasan. Maka, Raja Kaniska memutuskan untuk mengakhiri peperangan dan menciptakan perdamaian selama hidupnya melalui diplomasi budaya. Minggu, 21 Maret 78, Raja menetapkan kalender sistem Saka menjadi sistem tahun kerajaan. Tampaknya keputusan itu diambil untuk menghargai suku Saka.
Penetapan tahun Saka ini kemudian tersebar sampai ke Dvipantara (Indonesia) yang oleh masyarakat Hindu di Bali ditetapkan sebagai hari raya Nyepi. Perayaan Nyepi tahun baru Saka 1931 jatuh pada 26 Maret 2009.
Dengan demikian, perayaan tahun baru Saka pada hakikatnya adalah peneguhan tekad untuk menegakkan perdamaian. Tidak akan ada capaian yang dapat dibanggakan tanpa melewati jalan damai, jalan yang dilandasi kebenaran. Lebih-lebih pada saat kita memasuki tahun pemilu seperti sekarang ini. Suasana damai jelas sangat diperlukan oleh bangsa ini, betapa pun dinamisnya manuver-manuver politik dilakukan.
Masyarakat Bali sendiri sudah bertekad menjadikan pemilu tahun ini sebagai sebuah atraksi budaya yang dapat meredakan ketegangan-ketegangan ciptaan para elite politik yang sedang berebut kekuasaan. Di kalangan masyarakat sudah lama beredar guyonan ”jika para elite menenggak minuman keras, mengapa rakyat kecil yang disuruh mabuk?”
Damai, itulah inti Nyepi. Damai yang kita butuhkan sekarang mungkin berbeda dengan damai yang dibangun pada zaman Raja Kaniska I. Pada zaman itu damai lebih banyak berarti tidak ada peperangan. Tetapi sekarang kedamaian yang kita cita-citakan jauh lebih dalam dan luas. Bukan hanya tidak ada kekerasan berupa perang, tetapi juga tidak ada ”kekerasan” lain berupa kemiskinan, penyakit, pemaksaan kehendak, dendam, dominasi budaya kelompok, penghinaan, ketidakadilan, pembabatan hutan dan kerusakan lingkungan, serta kekerasan lahir dan batin lainnya.
Oleh karena itu, masyarakat Hindu merayakan tahun baru Saka dengan berbagai prosesi dan pantangan. Semuanya menyimbolkan sesuatu. Upacara melasti, yaitu prosesi ke laut sebelum Nyepi, menyimbolkan usaha menghilangkan penderitaan dan kekotoran batin manusia. Damai tidak akan pernah tercapai jika penderitaan rakyat masih merajalela dan kekotoran pikiran masih menguasai hidup manusia. Damai juga tidak bisa terwujud bila tidak ada keseimbangan dalam hidup ini.
Segala sesuatu memiliki nilai positif dan negatif, memiliki sisi baik dan buruk. Rwa bhineda (dua hal yang berbeda) akan selalu ada. Keadaan demikian menuntut kita untuk menilai segala sesuatu secara obyektif, berimbang, dan dengan itikad baik. Jangan meracuni rakyat dengan pandangan satu sisi, suatu pandangan yang seolah-olah dianggap ”sah” dalam dunia politik menjelang pemilu seperti sekarang ini.
Umat Hindu menyimbolkan keseimbangan itu dalam wujud caru atau tawur, yang dilakukan sehari menjelang Nyepi. Di samping menyimbolkan keseimbangan, caru juga menyimbolkan bahwa sesungguhnya tidak ada yang sepenuhnya ”jelek” di dunia ini kalau kita pandai mengelolanya. Secara teologis, para pandita Hindu melakukan pengelolaan itu dalam proses nyomia, mengubah kekuatan jelek menjadi kekuatan baik.
Introspeksi diri
Tetapi, perdamaian adalah sebuah proses dinamis. Perdamaian tidak pernah berhenti pada suatu kondisi. Maka, untuk menjaga perdamaian, kita diharapkan senantiasa waspada pada perkembangan, terutama gejolak yang terjadi. Umat Hindu melakukan pengelolaan itu dengan terlebih dahulu menoleh ke dalam dirinya sendiri.
Secara fisik, ada empat hal yang dilakukan, disebut catur brata penyepian. Ke-4 hal itu adalah melaksanakan puasa serta tidak menyalakan api, tidak bekerja, tidak bepergian, dan tidak mencari hiburan. Dalam keadaan seperti itulah umat Hindu diharapkan melakukan meditasi, berdialog dengan hati nuraninya sendiri serta memohon ampunan dan bimbingan Tuhan.
Kitab suci Bhagawadgita IV.39 menyebutkan, ”Ia yang memiliki keyakinan kuat dan memusatkan pikirannya kepada-Ku, mengendalikan indrianya, akan mendapatkan kebijaksanaan. Setelah itu ia akan mencapai puncak keheningan jiwa”. Umat Hindu meyakini, jika seseorang telah dekat dengan Tuhan, tangan Tuhan akan turut membimbing melalui usaha manusia itu sendiri, mengatasi segala rintangan.
RAKA SANTERI, Wartawan; Tinggal di Denpasar
Rabu, 25 Maret 2009 | 05:57 WIB
Kompas.com
OPINI
Banyak cara lain dilakukan guna meloloskan diri dari pederitaan. selain usaha dan perjuangan keras, maka mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa pun juga merupakan sebuah solusi. Semua agama mengajarkan hal yang demikian. bahwa siapapun mendekatkan diri kepada Tuhannya akan diberi suatu berkat guna sebagai suatu solusi. Dalam Agama Hindu dalam suatu upacara memperingati hari beragamanya (nyepi). Umat hindu melakukan puasa dan menghentikan aktifitas kepadatannya dan melakukakm Suatu perenungan, umat Hindu diharapkan melakukan meditasi, berdialog dengan hati nuraninya sendiri serta memohon ampunan dan bimbingan Tuhan dengan keyakinan, jika seseorang telah dekat dengan Tuhan, tangan Tuhan akan turut membimbing melalui usaha manusia itu sendiri, mengatasi segala rintangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar