- Cara (Usage)
- Kebiasaan (Folkways)
Beberapa contoh Folkways : Menghormati orang yang lebih tua, kebiasaan menggunakan tangan
kanan,
- Tata Kelakuan (Mores)
- Adat Istiadat (Custom)
sanksi -sanksinya diantaranya yakni pengucilan, bahkan dikeluarkan dari masyarakat,
Contoh norma - norma yang ada di Masyarakat antara lain :
- Melaksanakan Sholat, Mengikuti dan menjalankan Ibadah di Rumah Ibadah Serta kegiatan Keagamaan lain. Serta Menjauhi hal - hal yang dilarang Agama. Pelanggarannya adalah Dosa (Norma Agama)
- Dalam Norma Kesusialaan : Dilarang Berzina, Dilarang Berselingkuh. Apabila Melanggar akan ada sanksi hukum / dijaring dan dilakukan pembinaan moral.
- Mengucapkan Terima Kasih, Meminta maaf apabila bersalah, Tidak Meludah Sembarangan, jangan makan sambil berbicara, bagaimana cara bersikap ada dalam Norma Kesopanan.
- “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa/ nyawa orang lain, dihukum karena membunuhdengan hukuman setingi-tingginya 15 tahun” merupakan contoh dari Norma Hukum
Pranata Sosial dalam Masyarakat :
- Pranata Ekonomi
- Pranata Keluarga
- Pranata Pendidikan
- Pranata Politik
- Pranata Agama
memberi pedoman bagi masyarakat dan menuntun terbentuknya moral sosial melalui Pedoman Kitab Suci.
- Pranata Ilmiah
- Pranata kebutuhan jasmaniah
- Pranata Kebutuhan Rohani
STUDI KASUS
PENGEMIS
Hampir di setiap lampu merah di kota Malang ataupun mungkin di kota lainnya sering kita lihat pemandangan pengemis baik laki maupun perempuan baik anak-anak maupun yang tua baik yang cacat, pura-pura cacat maupun yang sehat jiwa raga meminta belas kasihan para pengendara yang kebetulan sedang berhenti terkena lampu merah.Tidak jarang orang yang iba dan memberi uang lebih kepada para pengemis melihat pemandangan tersebut. Tapi yang sekarang jadi masalah adalah apakah kita masih merasa iba melihat kenyataan sebenarnya bahwa para pengemis tetap orang yang itu-itu saja dan menjadikan penegmis sebagai suatu profesi bagi mereka.Kenyataan ini mungkin akan menjadi sah dan bisa ditolerir apabila seorang pengemis tersebut mungkin seorang manula atau seorang cacat yang tidak bisa bekerja lagi dikarenakan keadaan fisiknya. Tapi apakah kita masih bisa tetap mentolelir apabila anak muda yang sehat dan tidak sekolah atau seorang ibu sehat yang membawa anaknya dan mengorbankan pendidikan anaknya atau seorang yang dengan segala tipu dayanya mengelabui para pengendara dengan membuat dirinya seakan-akan orang cacat meminta-minta uang di tepi atau di tengah jalan. Pernah suatu sore saya bertemu dengan seorang pengemis anak-anak kira-kira umurnya 9 tahun esok pagi harinya lagi saya bertemu lagi dengan anak yang sama sehingga sayapun bertanya “le awakmu gak sekolah ta?”. Dengan jawaban yang polos ia menjawab “enggak mas” esok harinya lagi kira-kira jam 05.30 saya bertemu lagi di tempat yang sama anak itu dijemput dari “tempat kerjanya” oleh ibunya menggunakan Yamaha Vega.Bayangkan seorang anak kecil dikader untuk menjadi seorang pemalas yang oportunis dimana orang lain rela menjual sepeda motor untuk biaya sekolah anaknya tapi seorang ibu berkendaraan Yamaha Vega menyuruh anaknya mendapat uang dengan mudah dengan cara merendahkan harga diri anaknya dengan cara lebih memilih mengemis daripada sekolah. Kalau kita berpikir siapa yang salah? Mungkin kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pengemis tersebut bila menjadikan ngemis sebagai sebuah profesi. Karena bila kita lihat pada kondisi Indonesia saat ini orang tua untuk menyekolahkan anaknya dibutuhkan biaya yang tidak sedikit minimal 500 ribu belum lagi ditambah dengan berbagai macam uang sekolah seperti uang ujian, uang bangku uang gedung dan lain-lain yang mungkin bila ditotal dalam 1 tahun bisa mencapai lebih dari 1 juta. Jadi menurut saya pribadi bukan hal yang aneh apabila orang tua lebih memilih memperkerjakan anaknya dengan alas an bekerja sebagai pengemis lebih menghasilkan daripada sekolah yang hanya menghabiskan uang. Disamping itu melihat kenyataan bahwa banyak lulusan SMA yang bekerja sebagai sopir angkot ,cleaning service ataupun becak. Ini disebabkan karena banyaknya jumlah sarjana dari bebrbagai universitas, sedangkan untuk mencapai jenjang sarjana dalam 1 tahun saja dibutuhkan minimal uang satu juta lima ratus ribu rupiah ini bukan nominal yang kecil bagi mereka tukang angkot, ataupun mereka yang dibawah garis kemiskinan.melihat kenyataan ini jelas mereka rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan banyak yang berpikir “ buat apa sekolah tinggi-tinggi kalo hanya jadi sopir angkot ataupun mbecak kayak bapaknya mendingan ngemis dari kecil lebih menghasilkan”
Entah bagaimana membuat “mereka” sadar bahwa pendidikan itu bukan hanya sekedar title semata untuk mencari kerja tapi dalam tulisan ini saya berharap pembaca bisa lebih kritis melihat kondisi pengemis di Indonesia. Karena bila kita memberi pengemis yang sehat dan masih muda kita sama saja ikut serta mendukung pembodohan dan kemalasan kaum muda di Indonesia.
Opini
Sudah bukan hal yang baru adanya sindikat pengemis seperti ini. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan undang-undang untuk tidak sembarang member sedekah, serta berbagai razia Gepeng Jadi Sebaiknya Penyuluhan dan Pembinaan lebih dilakukan secara Intensif (Akronim dari Gembel dan Pengemis). Namun, masih saja kerap kali para gepeng tersebut membandel. Pemerintah pun tidak dapat dipersalahkan karena mereka-mereka yang terjaring razia gepeng umumnya diberi penyuluhan, diberikan pelatihan keterampilan, dan lain sebagainya. Namun, sayangnya mereka memilih kembali ke jalanan. Jadi menurut saya kesadaran akan kemauan hidup lebih baik dari para gembel dan pengemis inilah yang harus ditingkatkan. Karena apapun cara mengatasi nya tidak akan berjalan selama belum ada kesadaran dari para gepeng yang ingin berubah. Sedangkan usaha pemerintah, saya rasa sudah cukup yakni dengan ditetapkan 20% dari APBN untuk biaya pendidikan, Diadakannya paket belajar A, B, dan C. Dibuka kursus –kursus gratis untuk mendidik tenaga terampil, serta tidak sediki pula rumah – rumah sosial yang sudah didirikan untuk menampung dan mendidik para anak jalanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar